Dekati, Cium dan Rasakan

Mahasiswi berkerudung abu-abu tak bermotif itu terlihat murung di pojok taman kampus. Dia tidak sendiri, ada satu teman disampingnya yang tak lebih sama sedihnya. Saat itu saya hendak perjalanan pulang ke kos dan tak sengaja lewat di depan mereka. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang juga masih jomblo, tentu naluri kepahlawanan saya tergugah. Tanpa ragu, saya dekati dan mencoba masuk percakapan.

Setelah berbincang cukup lama, akhirnya saya tahu titik persoalannya; mereka sedang sedih karena dikejar-kejar deadline. Kedua mahasiswi yang bernama Rani dan Cyndi itu ceritanya sedang mengerjakan ‘berita’ untuk memenuhi tugas dalam Pelatihan Jurnalistik Dasar (PJD) yang mereka ikuti, Minggu (30/10).

Katanya, sore itu mereka sudah hunting, melakukan wawancara ke beberapa mahasiswa di sekitar kampus II. Tetapi hasilnya dirasa masih kurang karena narasumber hanya menjawab ala kadarnya. Jauh dari yang diharapkan sebelumnya. Naasnya lagi, tema yang diangkat ternyata tidak terlalu mereka pahami.

Jika direnungkan, persoalan semacam ini sebenarnya merupakan hal yang klasik. Bahkan mungkin mayoritas dari kita sudah pernah mengalami.

Pekerjaan itu memang tidak selamanya mudah. Pun tidak selamanya nyaman. Bahkan kadang-kadang pekerjaan menjadi sangat susah. Keadaan tidak berubah seperti yang kita inginkan. Orang-orang tidak memperlakukan kita seperti yang kita harapkan. Kita bekerja sangat keras, tapi tidak mendapatkan hasil yang memuaskan.

Pertanyaannya kemudian adalah, langkah apa yang kita lakukan ketika menemui persoalan semacam itu?

Apakah lantas frustasi, bunuh diri? Atau menangis, mungkin? (Cara yang biasa dilakukan kaum hawa). Atau cukup lari dari kenyataan? (Ini biasa dilakukan kaum Adam). Atau mungkin memilih untuk bertahan menyesuaikan keadaan  dan tetap berusaha agar bisa merubahnya? Semua itu pilihan !

Kalau boleh menyarankan, silakan jadi laiknya “bubuk kopi dan air panas dalam gelas”. Anggap “bubuk kopi” adalah diri kita dan “air panas dalam gelas” merupakan lingkungan dan persoalan di sekitar kita. Air tidak mengubah bubuk kopi, namun bubuk kopilah yang mengubah air. Warna air panas berubah menjadi hitam, baunya menjadi harum dan rasanya tentu nikmat.

Kita membuat sesuatu yang baik dari persoalan yang kita hadapi. Kita belajar hal-hal baru. Kita tumbuh bersama pengalaman itu. Masalah dan kesulitan memberi kesempatan kepada kita untuk lebih kuat dan lebih baik. Mungkin analogi itu yang sering saya terapkan–meskipun sampai sekarang tak kunjung menjadi lebih baik, minimal saya tidak akan melakukan hal-hal bodoh ketika menghadapi kesulitan hidup.

So, jika kamu sedang menghadapi masalah seperti dua mahasiswi di atas, bersikaplah seperti halnya bubuk kopi yang pandai beradaptasi, bahkan merubah suatu keadaan. Bubuk kopi mampu mengubah warna, bau dan rasa sebuah air dalam gelas. Silakan coba, dekati kopinya, cium baunya dan nikmati rasanya. Semoga kita bisa belajar lebih dari sekadar minum sebuah kopi dalam gelas…

Tinggalkan komentar