Kebutuhan Mahasiswa Vs Kebijakan Birokrasi

“Telaah kebijakan baru (versi lama) tentang hak penggunaan fasilitas PKM”

Apa yang anda butuhkan saat ini?

Ketika berposisi sebagai subjek dalam pertanyaan, tentu—siapapun itu—akan mudah menjawabnya. Di saat kebelet di kampus pengen BAB, maka orang akan menjawab ‘butuh WC yang ada airnya’. Ketika sedang pusing ngisi KRS, maka ia akan menjawab ‘butuh WiFi yang lancar’. Atau bagi cowok yang sedang kesepian di malam minggu, pastilah ia akan berkata ‘butuh cewek yang mau menemani’—kecuali bagi kaum LGBT, saat ini pasti mereka akan menjawab ‘butuh belas kasih agar tidak dihujat sana sini’.

Semuanya akan disampaikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing, tanpa memerlukan waktu panjang untuk berfikir. Mungkin betul kata eyang Charles Darwin, setiap manusia mengetahui apa yang ia butuhkan. Jangankan manusia, hewan pun mempunyai naluri untuk memenuhi kebutuhannya

Bagi orang yang menjadi subjek/pelaku pertanyaan di atas, jawaban semacam itu tentu bukanlah suatu hal yang sulit. Tetapi coba bayangkan ketika kamu harus menjawab, ‘apa yang dibutuhkan orang tua di rumah saat ini, detik ini juga?’ Saya yakin, jawaban yang Kamu sampaikan hanyalah terkaan belaka, yang ketepatannya banyak tergantung pada kebetulan. Hasil riset dan analisis mendalam pun tak akan mampu mengarahkan pada jawaban yang mutlak

Kesulitan itu sejatinya terjadi karena tidak ada yang mampu mengetahui kebutuhan (terdalam) seseorang kecuali dirinya sendiri. Maka, jika ingin memenuhi kebutuhan orang lain, tanyakanlah secara langsung, apa kebutuhannya.

Prinsip sederhana itulah yang kiranya terlupakan oleh birokrasi UIN Walisongo Semarang. Sebagai perguruan tinggi, UIN selayaknya mampu memenuhi kebutuhan mahasiswanya, baik dari segi akademik maupun non akademik.

Namun, sejauh pengamatan saya, usaha pemenuhan kebutuhan mahasiswa yang dilakukan pihak birokrasi masih jauh panggang dari pada api. Artinya begini, apa yang benar-benar menjadi kebutuhan mahasiswa belum sepenuhnya terpenuhi.

Oke, saya akan sedikit bercerita mengenai fasilitas kampus. Kali ini Saya (hanya) akan fokus pada fasilitas yang menunjang bakat minat mahasiswa. Tentu sudah tidak asing lagi kalau organisasi intra kampus memiliki sebuah kantor yang berada dalam kampus. Kantor tersebut dinamakan Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) atau Student Center (SC). PKM inilah yang menjadi kawah candradimuka para kreator dan kaum intelektual (Baca: mahasiswa).

Di PKM Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Walisongo, terdapat banyak organisasi mahasiswa, baik lembaga eksekutif, legislatif, maupun Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Masing-masing memiliki kebutuhan yang berbeda. Untuk lembaga politik kampus, mungkin tidak butuh yang ‘neko-neko’, cukup ala kadarnya sebagaimana umumnya sebuah kantor.

Lain halnya dengan UKM, kebutuhannya jauh lebih banyak, sesuai dengan bidang keahlian yang digeluti. Yang dibutuhkan UKM BITA (semacam UKM rebana di UIN) adalah alat-alat rebana dan ruangan yang kedap suara, agar tidak mengganggu UKM tetangga. Bagi UKM Tarbiyah Sport Club (TSC) tentunya membutuhkan alat-alat olah raga, lengkap dengan lapangannya.

Begitu pula dengan LPM Edukasi, sebuah lembaga jurnalistik kampus. Sebagai organisasi yang sehari-harinya bergelut dengan dunia wacana dan penerbitan, kantor menjadi tempat vital untuk membaca, berdiskusi dan menulis, yang tentunya memerlukan tempat yang hening, jauh dari kebisingan, agar bisa fokus. Tak jarang PKM digunakan untuk lemburan merampungkan tugas penerbitan sebelum jatuh deadline, hingga kadang untuk menginap.

Tetapi sekarang, kayaknya sudah tidak bisa untuk menginap lagi, pasalnya pada tanggal 2 Februari 2016 kemarin, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama, mbah Prof. Dr. H. Suparman, M.Ag., mengeluarkan kebijakan ‘baru’ mengenai prosedur penggunaan PKM. Sebenarnya bukan kebijakan baru sih, itu hanya aturan lama yang digunakan kembali. Tepatnya didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Rektor No. 19 Tahun 2005, yakni pada Bab I Pasal 4 tentang Hak Penggunaan Fasilitas PKM.

12771673_1052351321497804_1891504036378930062_oBagi yang belum tau, tak crit.tani ya. Jadi sekarang disetiap gedung PKM se-UIN Walisongo, terpampang Banner yang ditempelkan di tembok, berisikan UU di atas.

Dalam ayat (1) disebutkan bahwa “Kegiatan kemahasiswaan dilaksanakan mulai pukul 06.00 sampai dengan pukul 22.00 WIB.” Padahal kita tahu, perkuliahan di kampus ini dimulai dari pukul 07.00—bahkan ada yang dari pukul 05.30—sampai pukul 21.00 WIB. Itu artinya, alokasi waktu yang memungkinkan mahasiswa untuk berkumpul bersamaan di luar jam kuliah hanya satu jam. Sejam tok, bayangpun vroh..! 

Kalau sudah begitu, bagaimana mahasiswa bisa berkembang, mengasah bakat minat? Lhawong waktunya saja sangat minim. Mahasiswa (sekarang) hanya dituntut untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Siklusnya kira-kira hanya begini: Masuk kuliah—jadi mahasiswa kupu-kupu yang tidak berorganisasi—lulus cepat—pulang ke rumah—di rumah bingung—nganggur (atau mentok, jadi buruh)—tua—dan akhirnya mati. Ya, paling hanya begitu!

Mahasiswa hanya di desain bagaimana menjadi buruh, untuk memenuhi kebutuhan pasar. Tidak dididik untuk bagaimana menjadi pelopor pencerah bangsa, turut memperbaiki persoalan negeri yang karut-marut ini. Astaghfirullah,  semoga mereka yang menzalimi mahasiswa dengan mengebiri haknya untuk berekspresi dan beraktualisasi dalam berorganisasi, diampuni dosanya. Amiiiin…

Semoga ke depannya, pihak birokrasi bisa lebih arif dalam mengambil keputusan. Aturan-aturan (UU) yang sekiranya sudah lama, harap dipertimbangkan kembali. Masa iya, UU buatan tahun 2005, hingga sekarang masih digunakan! Yakin itu masih relevan? Saya kok ndak yakin ya. Hmm, suudzon saja lah, mungkin ‘mereka’ sudah lelah, tidak mau berfikir, atau jangan-jangan tidak bisa berfikir!

Kelihatannya sepele, namun sebenarnya ini penting, karena menyangkut kebutuhan mahasiswa dan otoriterisme birokrasi. Saya mengatakan begitu bukan tanpa dasar. Seringkali pihak birokrasi mengambil keputusan secara sepihak, tidak melibatkan mahasiswa. Menurut Ari Sujito, Dosen Fisip UGM, pola seperti itu menunjukkan bahwa birokrasi masing menggunakan paradigma lama yang menempatkan diri sebagai pengatur, dan memandang mahasiswa sebagai objek yang diatur.

Usul konkret pak! Silahkan adakan audiensi antara mahasiswa dan birokrasi, setiap akan mengambil keputusan. Dari situ nanti birokasi dapat mengetahui, apa kebutuhan mahasiswa sebenarnya, dan mahasiswa juga bisa mengerti apa prioritas kampus saat ini. Sehingga kedua belah pihak bisa saling memahami.


Barangkali sudah mulai capek membaca, baik kiranya rehat sebentar. Tarik napas terlebih dahulu; nyalakan rokoknya kalau ada, dan jangan lupa untuk sedikit senyum. Maaf kalau terlalu panjang. Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mingguan di #WrttingChallenge8 (WC). Teruntuk anggota WC: @muafaelba, @aamadien5, @agitadayah, dan @azizafifi, maaf tulisanku telat lama. Teruntuk segenap pembaca yang budiman, terimakasih atas kunjungannya. (@baihaqi_annizar)

(Pernah dipublikasikan di: baihaqi-annizar.blogspot.co.id )

2 Comments

Tinggalkan komentar