Tahun 2000-an, Era Pra-Smartphone

“Jauh di mata dekat di hati”

Mungkin pepatah itu sangat pas ketika dikaitkan dengan fenomena saat ini. Saat dimana manusia dihadapkan pada teknologi yang mampu mengubah pola hidup seseorang. Pada dasarnya, teknologi ada untuk memudahkan manusia, begitu pula dengan smartphone, manusia bisa saling terhubung tanpa harus bertatap muka secara langsung. Dengan smartphone, jarak seakan tak lagi membatasi manusia untuk berkomunikasi.

Sekilas, kehadiran smartphone merupakan anugerah, karena banyak memberikan manfaat. Namun, smartphone hanyalah perangkat teknologi era modern. Seperti halnya uang logam, smartphone memiliki dua sisi yang berbeda. Kemanfaatan smartphone hanyalah salah satu sisi saja, ada sisi lain yang perlu dibahas, yakni hal negatif yang ditimbulkan oleh smartphone. Salah satunya yakni semakin tertanamnya sikap individualisme.

Sebelum lebih jauh membahas tentang smartphone, sebenarnya tema Writting Challenge ke-2 ini adalah “Tahun 2000-an”. Secara sederhana, ketika membicarakan tahun 2000, menurutku, dari pada hanya cerita tentang masa kecil tahun 2000, kiranya lebih bijak jika kita mencoba mensinergikan dengan permasalahan pelik saat ini. Saat dimana orang-orang digandrungi oleh smartphone, sangat paradok dengan zaman kecil ku dulu.

Masa Kecil

Aku masih ingat betul hal-hal yang mengesankan saat tahun 2000-an. Pada tahun 2000 aku masih belum mengenyam pendidikan, kecuali pendidikan keluarga. He he, maklum, dulu belum ada Playgroup, boro-boro Playgrop, TK aja belum ada. Tetapi bukan berarti masa kecilku tidak bahagia. Bayangpun! Meskipun belum sekolah, aku bisa berkumpul, bermain dengan temen-temen sepantaran, satu RT (meskipun tak satu angkatan satu jiwa seperti yang digembor-gemborkan Ms. Fah…tiiiiiiit).

Tau permainan petak umpat, sudamanda, cutik lele, adu kartu, adu kelereng dan lain-lain. Aku yakin kamu tau, tidak hanya tau, mungkin juga pernah memainkannya. Kalau sampe ada yang gak tau, aku yakin seyakin-yakinnya, pasti masa kecilnya kurang bahagia, haha, kasian. Tapi beneran deh, permainan-permainan itu merupakan permainan terfovorit sekaligus terpopuler. Jadi rugi, kalau anak kecil jaman doeloe tidak pernah bermain itu.

Tetapi, ukuran kebahagiaan masa kecil, antara dulu dengan sekarang itu berbeda. Coba, pernahkah melihat anak kecil saat ini yang masih bermain permainan tradisional? Aku yakin semua sepakat, kalau anak kecil era modern permainannya pun modern. Jika ada yang mau iseng, coba tanyakan ke anak kecil kekinian, apakah pernah bermain petak umpat? Aku yakin, mereka akan menjawab TIDAK! Karena mereka lebih senang bermain di dunia maya.

Game multiplayer dan game online yang kian menjamur, seakan mendorong anak-anak untuk lebih menggemari permainan jenis ini. Apalagi game dengan sistem level, seakan membuat para pemainnya sulit untuk lepas darinya. Contohnya saja COC (Clash of Clan) atau Duel Otak. Coba bandingkan dengan masa kecil ku dulu, game seperti itu jelas belum ada. Bahkan mungkin belum terfikir oleh penciptanya.

Maka kiranya tepat, kalau aku menyebut tahun 2000 sebagai era prasmartphone. Oh ya, aku belum sempat menjelaskan apa itu smartphone—kali aja ada yang masih gaptek. Smartphone jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ‘telepon pintar’. Pintar, karena telepon jenis ini tidak hanya dapat digunakan untuk menelfon dan sms saja. Lebih dari itu, ‘telepon pintar’ ini dapat digunakan untuk banyak hal, termasuk salah satunya bisa untuk nge-game.

Masa Remaja

Selain mengubah kebiasaan anak-anak, smartphone ternyata juga mampu mengubah pola fikir dan tingkah laku orang dewasa. Apalagi dengan maraknya akun media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Line, BBM, WhatsApp, dan masih banyak yang lainnyaSeakan menjadi bagian yang tak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Remaja umumnya sangat gemar memosting dan berbagi di akun media sosial mereka.

Saking kecanduannya remaja saat ini, sampe-sampe momen makan pun tak luput dari kebiasaan ini. Sebelum, saat dan sesudah makan, semuanya didokumentasikan, baik lewat tweet, status FB, maupun selfie di instagram. Bahkan, sampai ada iklan yang mengajari untuk melakukan hal tersebut. ingat ilkan ini, “Ganteng dikit, jeprettt. Ganteng banyak, jeprettt. Jeprettt…” Muka lo sini tak jepret pake karet, dasar kampreeeet….(tiiit).

Pada tahun 2000-an tidak ada kebiasaan semacam itu. Mas-mas di desa saya, dulu sewaktu aku kecil, melakukan aktivitas makan dengan normal. Makan ya makan, tidak perlu melakukan hal neko-neko  yang tak berhubungan. Kalaupun ada aktivitas lain sebelum makan, itu adalah bercengkrama dan berbincang dengan temen makan mereka. Sekarang, alokasi waktu berbincang sudah tidak ada, pasalnya dihabiskan untuk mengurusi akun media sosialnya.

Pacaran pada tahun 2000-an dengan sekarang juga berbeda. Remaja era pra-smartphone, kencan dengan romantis. Pada kala itu, kencan adalah waktu yang menyenangkan, waktu dimana sepasang kekasih saling bertemu dan berbagi cerita. Komunikasi dan interaksi terjalin secara langsung tanpa perantara. Setiap interaksi dapat diekspresikan secara nyata, tidak hanya menggunakan emoticon. Wajar bila dulu ada tradisi ‘ngintip’ orang pacaran. (Soal ngintip, aku gak ikut-ikutan)

Beda halnya dengan saat ini, terkadang justru tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan pacar. Bahkan tidak jarang keduanya sibuk sendiri-sendiri, chatting dengan temen lain yang jauh. Akibatnya kencan tak lagi terasa menyenangkan dan tidak benar-benar mampu menguatkan hubungan antara keduanya. Wajar bila pacaran tahun 2000-an lebih berkualitas, dan hubungannya langgeng sampai ke pelaminan. Contohnya ibu-bapakku. Hh.

Ambil Hikmahnya

Kita tau, setiap teknologi pasti ada sisi positif dan juga negatifnya. Smartphone yang merupakan alat canggih kekinian, mampu memberikan manfaat yang luar biasa. Salah satunya yaitu untuk membantu berhubungan jarak jauh. Aku kira, temen cewek ku dengan inisial ‘Agita’, harus berterima kasih pada benda satu ini. Berkat smartphone ia masih bisa mempertahankan LDR atau hubungan jarak jauh-nya, meski hanya lewat dunia maya, hh.

Untuk kedua temen WC (Writting Challenge) –ku (yang katanya satu angkatan satu jiwa), mas Fahmi dan Aam, menurutku juga harus berterima kasih pada smartphone. Meskipun jomblo akut, kalian masih bisa berhubungan dan merasakan kebahagiaan dengan makhluk lain lewat dunia maya. Simpelnya, berkat smartphone kalian tidak kesepian. Kalian bisa berpacaran dengan aplikasi (lewat FB, Twitter, dll), tidak hanya pacaran lewat imajinasi. Ha ha.

Mungkin itu sekilas manfaat dari smartphone, tetapi mari kita tilik sisi madlorotnya. Sering kali aku merasa diduakan gara-gara ‘makhluk biadab’ itu. Saat dimana sedang kumpul bareng-bareng, eh kalian justru sibuk dengan gadget barumu. Bukan apa-apa sih, tetapi menurutku jika menggunakan smartphone harus tau si kon… (situasi—kondisi) dan si tem… (situasi—tempat). Kalau ada temen ngobrol yang deket, kenapa harus ngobrol dengan yang jauh!

Untuk itu, mari kita gunakan gadget dengan bijak. Dan maaf bila pembahasan kali ini lebih condong ke smartphone, bukan pada tema utama WC-2—tahun 2000-an. Hal ini bukan berarti mengingkari tema yang telah ditentukan, melainkan aku ingin mengajak pembaca sekalian, untuk mengingat masa-masa bahagia tahun 2000-an, yang tak lagi bisa kita temukan saat ini, jika tidak menggunakan smartphone dengan tepat.

Setiap zaman akan meninggalkan sejarahnya masing-masing. Tahun 2000-an telah mengajari kita banyak hal. Tentang kebersamaan, kesolidan dan tentang kebaikan-kebaikan lainnya. Tetapi bukan berarti menganggap tahun 2015 yang sarat akan teknologi itu sebagai zaman yang banyak keburukan. Tidak sedikit hal-hal positif yang bisa diambil, selagi kita dapat mengambil hikmah dengan baik, why not! 

(Pernah dipublikasikan di: baihaqi-annizar.blogspot.co.id )

Tinggalkan komentar