Tentang Iklan dan Kenangan yang Terlupakan

 

aaa

Masih ingat tentang iklan partai di televisi yang efeknya mengungguli kepopuleran lagu kebangsaan Indonesia? Apalagi kalau bukan iklan mars Perindo–sebuah lagu partai milik Hary Tanoesoedibjo, bos dari MNC group. Saking tenarnya lagu (mars) ini, anak kecil yang baru bisa belajar ngomong saja, sudah hapal. Tak ayal kalau banyak orang tua yang resah dan gelisah, seperti lirik lagu yang sempat populer diawal tahun 2000-an.

Salah satu keluhan datang dari Ferdi, warga Mampang, Jakarta Selatan, setelah tau kalau anaknya lebih hapal mars Perindo dari pada lagu anak-anak, yang harusnya dirapal oleh bocah sepantarannya. Ferdi bercerita, sebelum tidur biasanya Alka, puteranya, rajin diajari bernyanyi oleh bundanya. Namun keduanya dibuat tercengang karena mendapati anaknya melantunkan lagu yang tak pernah diajarkan sebelumnya.

Bocah yang baru berumur tiga tahun itu, dengan logat cedalnya, bernyanyi, “Oeh pelindo… oeh pelindo… jayayah indonesa…”

Ketika ditanya itu lagu apa, Alka tak bisa menjawab. Orang tuanya baru sadar saat ketiganya berkumpul, duduk bersama diruang tengah menonton tivi sambil menikmati segelas kopi. Tentu kopi tersebut diperuntukkan bagi ayahnya, bukan anaknya. Apalagi setelah melihat Alka lihai menyayikan lagu partai, padahal ia baru saja belajar minum air putih. Apa jadinya kalau sedari dini sudah minum kopi, bisa-bisa ia hapal mars Perindo se-not-not-nya. *eh, ndak ada hubungannya, ding.

Sebenarnya Alka tak sendiri. Masih banyak anak-anak lainnya di luar sana yang bahkan jauh lebih lanyah menyanyikan lagu ciptaan Liliana Tanoesoedibjo itu. Agar tidak terkesan ngawur, coba saja ketik keyword “mars Perindo” di kanal Youtube, nanti kita akan disuguhkan puluhan video anak kecil yang masih unyu-unyu, fasih menyanyikan mars Perindo.

Kesalahan fatal

Fenomena ini tentu menjadi ironi yang miris nan tragis. Semuanya bermula dari masifnya iklan kampanye Perindo di saluran MNC Group yang menaungi RCTI, Global TV dan MNCTV. Apalagi penayangannya berada di waktu-waktu yang strategis, jam-jam keluarga atau bahkan kadang-kadang ditayangkan seusai acara anak-anak. Tirto.id menyebutkan, dalam kurun waktu tiga bulan pada awal 2016 lalu, iklan Perindo di MNC Group mencapai 1918 kali tayang. Rincian iklan tersebut yakni RCTI (648 kali), MNCTV (630 kali) dan Global TV (640 kali).

Pertanyaannya, berapakah jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk iklan tersebut, jika Hary Tanoe bukan pemilik media? Berdasarkan perhitungan Adstensity–sebuah lembaga yang menganalisa data iklan di televisi–nilainya berkisar Rp 132 milliar. Saya ulangi, Rp 132 milliar! Jika boleh berandai-andai, uang itu lebih dari cukup untuk modal nikah saya dengan dek Natasha Wilona. Konon pernikahannya Raffi dan Nagita yang dinobatkan sebagai pernikahan termahal saja, hanya Rp 10 milliar.

Benar kata Ralp Waldo Emerson, “Uang seringkali menuntut terlalu banyak.” Lha wong kaya kok, bebas dong mau ngapain. Orang susah dilarang nyanggah.

Komisi Nasional Perlindungan Anak merasa resah karena apa yang dilakukan pihak Perindo ini disinyalir cenderung mendorong dan melibatkan anak-anak terlibat dalam kegiatan politik. Maka, tindakan Komisi Penyiaran Indonesia menegur Perindo, adalah langkah yang tepat. Sebab, jika dibiarkan, anak-anak bisa kehilangan jatidirinya sebagai generasi Indonesia. Jangan sampai mereka hapal lagu partai politik, namun tak tahu lagu kebangsaannya, apalagi sejarah bangsanya.

Berbicara mengenai sejarah, saya punya cerita sejarah yang mungkin belum Anda ketahui, apalagi anak kecil yang baru hapal mars Perindo, jelas ini cerita baru–yang tentu lebih penting dari sekadar lagu partai. Menariknya, dari berbagai dokumen resmi sejarah Indonesia atau lebih khususnya sejarah Jawa Tengah, biasanya cerita fakta ini luput untuk diulas. Maka, usaha Anda untuk membaca sampai kalimat ini, tentu tak akan sia-sia. Sebab, saya memang tak biasa menyia-nyiakan orang, apalagi cewek. #eh.

Ini cerita tentang Purworejo, sebuah kabupaten di ujung selatan Jawa Tengah yang kaya akan rahasia. Purworejo ini merupakan satu-satunya kabupaten yang wilayahnya pernah dijadikan ibukota Provinsi Jawa Tengah, selain Semarang. Dalam masa revolusi fisik (1945-1949) Kecamatan Bruno, Purworejo, menjadi markas persembunyian para pejuang kemerdekaan. Hingga pada 1948-1949, Bruno menjadi ibukota “dalam pelarian” karena saat itu Semarang dikuasai Belanda.

Jika ada yang baru mendengar sejarah ini, wajar karena memang tidak banyak terekspos di media. Sebagaimana ketidakinginan orang tua melihat anaknya hapal mars Perindo tapi tak tahu lagu kebangsaan; sebagai anak yang lahir di Bruno, saya juga tak ingin sejarah lokal Jawa Tengah, terlupakan karena ada sejarah baru yang lebih populer. Seperti kenangan, sejarah tak boleh dilupakan. Heu heu.

Baihaqi Annizar

Tinggalkan komentar